Quantcast
Channel: sekadarblog » Kompetisi
Viewing all articles
Browse latest Browse all 5

Gelar Juara Bisa Dibeli?

$
0
0

Ketika raja minyak Roman Abramovich menggelontorkan dana lebih dari 100 juta euro dalam waktu singkat untuk mendatangkan pemain level atas ke Chelsea, seketika orang punya pandangan baru terhadap (kompetisi) sepakbola profesional.

Membeli gelar, uang tak bisa membeli gelar dan sebagainya. Muncul pula premis yang sebenarnya tak berdasar. “Pantes aja dia juara, belanjanya gede-gedean sih.” “Udah keluarin duit banyak ga juara juga. Payah! Gelar ga bisa dibeli, bos.”

Kini, perdebatan yang sama muncul kembali. Manchester City yang baru saja menjuarai Liga Primer Inggris dituding melakukannya dengan kekuatan uang. Padahal, menjadi juara bukan hanya tentang uang.

Uang bisa jadi penting, tapi di konteks lain juga belum tentu. Beberapa tahun lalu, Real Madrid dengan program Los Galacticos bermodal lebih dari 70 juta euro pun gagal total mendulang trofi. Kecuali hanya sukses dalam penjualan merchandise.

Montpellier, klub miskin dari Prancis dengan letak stadion jauh di pinggiran kota, nyaris degradasi di musim lalu. Memasuki musim ini, pelatih Rene Girard hanya merekrut tiga pemain di musim panas 2011 dengan biaya 2,5 juta euro. Hasilnya, mereka mampu bersaing dengan Paris Saint Germain, yang menghabiskan 79 juta euro untuk belanja pemain, di jalur juara Ligue 1 dan akan ditentukan pada hari Minggu (20/5) nanti.

Borussia Dortmund juga mempertahankan gelar juara Bundesliga hanya dengan anggaran belanja 43 juta euro. Angka yang lumayan kecil untuk ukuran kompetisi di Eropa.

Saya kira contoh tim juara atau bahkan gagal dengan anggaran besar dan kecil banyak sekali. Coba kita kembali ke Liga Primer Inggris. (Hanya) kelima tim yang pernah menjuarai kompetisi termahsyur di dunia ini melakukannya dengan anggaran besar. Manchester United, tim tersukses Inggris di era Modern, bahkan tiga kali membuat rekor transfer termahal di Inggris. Andy Cole (1995), Juan Sebastian Veron (2001) dan Rio Ferdinand (2002). Mundur ke belakang, Setan Merah memborong Danny Wallace, Gary Pallister, Paul Ince, Mike Phelan and Neil Webb dengan angka termahal ketika 2002 — 6,7 juta pounds. Hasilnya, MU juara.

Chelsea, Arsenal, dan Blackburn Rovers pun melakukannya. Baca saja artikel keren berisi data dan fakta ini.

Menggunakan anggaran besar tidak serta merta bisa juara. Chelsea baru sukses setahun kemudian pasca dibeli Abramovich, plus dengan mendatangkan pelatih hebat Jose Mourinho. Pelatih arogan nan sukses dari Portugal itu pula yang menghadirkan gelar juara liga untuk Real Madrid pada musim keduanya di Santiago Bernabeu. Padahal Mourinho menangani tim dengan bayaran termahal di dunia — termasuk pemain termahal di dunia Cristiano Ronaldo yang gaji per tahunnya 150 kali bayaran dokter top di Inggris. Gaji Ronaldo adalah 250 ribu pounds per minggu!

Tetapi Antonio Conte dengan jitu justru mampu membawa tim baru Juventus dengan dana belanja yang tidak kecil untuk meraih gelar Lo Scudetto Serie A tanpa kalah sekalipun. Padahal ini musim pertamanya kembali ke tim yang pernah dipimpinnya dengan ban kapten.

Menjadi juara dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Materi tim, manajemen klub, jadwal pertandingan, cedera pemain, strategi dan taktik pelatih adalah faktor internal. Dalam musim yang panjang, sulit menghindari keputusan wasit yang kontroversial dan terkesan merugikan tim kita. Jangan lupa pula, bukan hanya satu tim yang mengejar trofi juara. Ada beberapa tim yang juga bermain sama bagus dan konsisten dengan tim A. Inilah faktor eksternal yang sulit diukur. Jangan lupakan pula faktor suporter sebagai pembakar semangat.

Menjadi juara adalah sebuah konteks besar. Sebuah gambaran betapa sebuah tim telah melakukan berbagai upaya dan perjuangan yang konsisten dan teratur agar bisa keluar sebagai juara. Pelatih menggodok formula strategi-taktik yang tepat dan dapat dimainkan timnya seoptimal mungkin. Pemain bersama dokter tim, ahli gizi, fisioterapis dan psikolog berusaha menjaga fisik dan mental agar selalu siap tempur. Didukung pula oleh keuangan yang kondusif dan tertata baik. Gaji dan bonus tidak telat.

Melontarkan stereotipe sebuah tim hanya membeli gelar justru terkesan mengecilkan arti perjuangan tim. Para pemain menghabiskan waktu kurang lebih 9 bulan dan kehilangan waktu bersama keluarga. Benar, itu adalah profesi mereka, dengan bayaran mentereng dan seperti sudah seharusnya kerja keras. Tetapi hanya memandang sebuah tim dari segi uang hanya akan menipiskan pemahaman konteks kita terhadap kompetisi dan permainan. Konteks tentang skil pemain, strategi, stamina, taktik, dan manajemen.

Uang besar di sepakbola internasional, terutama Eropa, memang mengundang keprihatinan. Pasar transfer pemain rusak dan tidak kondusif. Namun Uni Eropa melalui UEFA pun telah membuat kebijakan wajib Financial Fair Play. Mereka paham apa masalahnya. Musim depan adalah pelaksanaan pertamanya. Musim panas ini dijamin tidak akan ada belanja jor-joran yang dilakukan sebuah klub. Bahkan City pun dikabarkan bakal melego sejumlah bintang untuk meratakan neraca keuangannya.

Dalam ilmu ekonomi dikenal istilah ekuilibrium. Financial Fair Play adalah dalam rangka menciptakan ekuilibrium itu. Keseimbangan.

Tetapi, namanya juga sepakbola. Semua serba dinamis dan sulit ditebak.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 5

Latest Images

Trending Articles